Thursday, 17 March 2016

ELIMINASI FEKAL

LAPORAN PENDAHULUAN 

ELIMINASI FEKAL


A.  Teori Eliminasi Fekal
1.    Definisi
       Eliminasi fekal (defekasi)  adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolisme berupa feses dan flatus yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. (Tarwoto dan Wartonah, 2003)
Sedangkan menurut Kozier, et al. (2011), eliminasi fekal (defekasi) adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Defekasi juga disebut bowel movement (pergerakan usus).
2.    Anatomi dan Fisiologi Eliminasi Fekal
Menurut Mubarak dan Chayatin (2007), saluran pencernaan bawah meliputi usus halus dan usus besar. Usus halus terdiri atas tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan ileum. Sedangkan usus besar terdiri atas empat bagian yaitu sekum, kolon, apendiks, dan rektum.
a.    Usus halus
Usus halus merupakan lumen muskular yang dilapisi membran mukosa yang terletak di antara lambung dan usus besar. Sebagian besar proses pencernaan dan penyerapan makanan berlangsung di sini. Usus halus terdiri atas :
1)   Duodenum
Duodenum adalah saluran berbentuk C dengan panjang sekitar 25 cm yang terletak di bagian belakang abdomen.
2)   Jejunum dan ileum
Panjang jejunum dan ileum bervariasi antara 300 dan 900 cm. Jejunum berukuran lebih besar, memiliki dinding yang tebal, lipatan membran mukosa yang lebih banyak, dan plak peyeri lebih sedikit.
b.    Usus besar (kolon)
Usus besar adalah sebuah saluran otot yang dilapisi oleh membran mukosa. Serat otot berbentuk sirkular dan longitudinal, yang memungkinkan usus besar berkontraksi melebar dan memanjang. Fungsi utama usus besar (kolon) adalah absorpsi air dan zat gizi, perlindungan mukosa dinding usus, dan eliminasi fekal.
Fisiologi defekasi menurut Mubarak dan Chayatin (2007), yaitu sewaktu makanan masuk ke lambung terjadi gerakan massa di kolon yang disebabkan oleh refleks gastrokolon. Ketika gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum, terjadi peregangan rektum yang memicu refleks defekasi.
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2003), dalam proses defekasi terjadi dua macam refleks, yaitu :
a.    Reflek defekasi instrinsik
Refleks ini berasal dari feses yang masuk ke rectum sehingga terjadi distensi rectum, yang kemudian menyebabkan rangsangan pada fleksus mesentrikus dan terjadilah gerakan peristaltik. Setelah feses tiba di anus secara sistematis spinkter interna relaksasi maka terjadilah defekasi.
b.    Reflek defekasi parasimpatis
Feses yang masuk ke rektum akan merangsang saraf rectum yang kemudian diteruskan ke spinal cord. Dari spinal cord kemudian dikembalikan ke kolon desenden, sigmoid, dan rectum yang menyebabkan intensifnya peristaltik dan relaksasi spinkter interna, maka terjadilah defekasi.
       Selain itu dorongan feses juga dipengaruhi oleh kontraksi otot abdomen, tekanan diafragma dan kontraksi otot elevator ani. Defekasi juga dipermudah oleh fleksi otot femur dan posisi jongkok.
3.    Faktor yang Mempengaruhi Defekasi
       Menurut Kozier, et al. (2011), pola defekasi beragam pada tahap kehidupan yang berbeda. Keadaan diet, asupan cairan, aktivitas, faktor psikologis, gaya hidup, pengobatan, serta penyakit juga mempengaruhi defekasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi defekasi antara lain :
a.    Usia
Pada bayi, kontrol defekasi belum berkembang dengan baik. Sedangkan pada lansia, kontrol defekasi menurun seiring dengan berkurangnya kemampuan fisiologis sejumlah organ. (Mubarak dan Chayatin, 2007)
b.    Asupan cairan
Asupan cairan yang kurang akan menyebabkan feses lebih keras. Hal ini dikarenakan jumlah absorpsi cairan di kolon meningkat. (Mubarak dan Chayatin, 2007)
c.    Tonus otot
Tonus otot terutama otot abdomen yang ditunjang dengan aktivitas yang cukup akan membantu defekasi. (Mubarak dan Chayatin, 2007)
d.   Faktor psikologis
Perasaan takut atau cemas akan mempengaruhi peristaltik atau mortilitas usus sehingga dapat menyebabkan diare. (Mubarak dan Chayatin, 2007)
e.    Pengobatan
Beberapa jenis obat dapat menimbulkan efek konstipasi. Laksatif dan katartik dapat melunakkan feses. Obat-obat lain yang dapat menggangu pola defekasi antara lain analgesik narkotik, opiat, dan antikolinergik. (Mubarak dan Chayatin, 2007)
f.     Kerusakan sensorik dan motorik
Kerusakan pada medula spinalis dan cidera di kepala akan mengakibatkan penurunan stimulus sensorik untuk defekasi. (Mubarak dan Chayatin, 2007)
g.    Penyakit
Beberapa penyakit pencernaan dapat menyebabkan diare dan konstipasi. (Mubarak dan Chayatin, 2007)
h.    Nyeri
Pada kondisi tertentu (hemoroid, bedah rektum, melahirkan), defekasi akan menyebabkan nyeri. Akibatnya pasien seringkali menekan keinginan untuk defekasi. Lama kelamaan kondisi ini dapat menyebabkan konstipasi. (Mubarak dan Chayatin, 2007)
i.      Diet
Makanan berserat akan mempercepat produksi feses, banyaknya makanan yang masuk ke dalam tubuh juga mempengaruhi proses defekasi. (Tarwoto dan Wartonah, 2003)
j.      Gaya hidup
Kebiasaan untuk melatih pola buang air besar sejak kecil secara teratur, fasilitas buang air besar dan kebiasaan menahan buang air besar. (Tarwoto dan Wartonah, 2003)
4.    Masalah Eliminasi Fekal
       Menurut Kozier, et al. (2011), empat masalah umum yang terkait dengan eliminasi fekal, yaitu :
a.    Konstipasi
Konstipasi dapat didefinisikan sebagai defekasi kurang dari tiga kali per minggu. Ini menunjukkan pengeluaran feses yang kering , keras atau tanpa pengeluaran feses. Konstipasi terjadi jika pergerakan feses di usus besar berjalan lambat, sehingga memungkinkan bertambahnya waktu reabsorpsi cairan di usus besar.
b.    Impaksi fekal
Impaksi fekal adalah suatu massa atau pengumpulan feses yang keras didalam lipatan rektum. Impaksi terjadi akibat retensi dan akumulasi materi fekal yang berkepanjangan. Impaksi fekal dapat dikenali dengan keluarnya rembesan cairan fekal (diare) dan tidak ada feses normal. Penyebab impaksi fekal biasanya adalah kebiasaan defekasi yang buruk dan konstipasi.
c.    Diare
Diare merujuk pada pengeluaran feses encer dan peningkatan frekuensi defekasi. Diare merupakan kondisi yang berlawanan dengan konstipasi dan terjadi akibat cepatnya pergerakan isi fekal di usus besar.cepatnya pergerakan kime mengurangi waktu usus besar untuk menyerap kembali air dan elektrolit.
d.   Inkontinensia alvi
Inkontinensia alvi adalah hilangnya kemampuan volunter untuk mengontrol pengeluaran fekal dan gas dari spingter anal. Dua tipe inkontinensia alvi digambarkan menjadi parsial dan mayor. Inkontinensia alvi parsial adalah ketidakmampuan untuk mengontrol flatus atau untuk mencegah pengotoran minor. Inkontinensia mayor adalah ketidakmampuan untuk mengontrol feses pada konsistensi normal.
e.    Flatulens
Flatulens adalah keberadaan flatus yang berlebihan di usus dan menyebabkan peregangan dan inflasi usus (distensi usus). Flatulens dapat terjadi di kolon akibat beragam penyebab, seperti makanan, bedah abdomen, atau narkotik.
5.    Proses Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Eliminasi Fekal
a.    Pengkajian
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2003), pengkajian pada pasien dengan gangguan eliminasi fekal meliputi :
1)   Riwayat keperawatan
a)    Pola defekasi : frekuensi, pernah berubah
b)   Perilaku defekasi : penggunaan laksatif, cara mempertahankan pola
c)    Deskripsi feses : warna, bau, dan tekstur
d)   Diet : makanan yang mempengaruhi defekasi, makanan yang biasa dimakan, makanan yang dihindari, dan pola makan yang teratur atau tidak
e)    Cairan : jumlah dan jenis minuman per hari
f)    Aktivitas : kegiatan sehari-hari
g)   Kegiatan yang spesifik
h)   Penggunaan medikasi : obat-obatan yang mempengaruhi defekasi
i)     Stres : stres berkepanjangan atau pendek, koping untuk menghadapi atau bagaimana menerima
j)     Pembedahan atau penyakit menetap
2)   Pemeriksaan fisik
a)    Abdomen : distensi, simetris, gerakan peristaltik, adanya massa pada perut, tenderness
b)   Rectum dan anus : tanda-tanda inflamasi, perubahan warna, lesi, fistula, hemoroid, adanya massa, tenderness
3)   Keadaan feses
Konsistensi, bentuk, bau, warna, jumlah, unsur abnormal dalam feses, lendir
4)   Pemeriksaan diagnostik
a)    Anuskopi
b)   Proktosigmoidoskopi
c)    Rontgen dengan kontras
b.    Diagnosa Keperawatan yang Muncul pada Kasus
Diagnosa Keperawatan yang muncul pada kasus adalah konstipasi yang berhubungan dengan faktor mekanik : abses rektal. Menurut NANDA 2012-2014 seperti yang dipaparkan oleh Herdman, ed. (2012), definisi dan batasan karakteristik dari diagnosa keperawatan tersebut adalah sebagai berikut :
1)   Definisi
Pengertian dari konstipasi adalah penurunan pada frekuensi normal defekasi yang disertai oleh kesulitan atau pengeluaran feses tidak lengkap atau pengeluaran feses yang keras dan kering.
2)   Batasan karakteristik
a)    Nyeri abdomen
b)   Nyeri tekan abdomen dengan resistensi otot yang dapat dipalpasi
c)    Nyeri tekan abdomen tanpa resistensi otot yang dapat dipalpasi
d)   Anoreksia
e)    Penampilan tidak khas pada lansia
f)    Borborigmi
g)   Darah merah pada feses
h)   Perubahan pada pola defekasi
i)     Penurunan volume feses
j)     Perasaan rektal penuh
k)   Perasaan tekanan rektal
l)     Feses keras dan berbentuk
m) Bising usus hiperaktif
n)   Bising usus hipoaktif
o)   Peningkatan tekanan abdomen
p)   Massa abdomen yang dapat diraba
q)   Massa rektal yang dapat diraba perkusi abdomen pekak
r)     Tidak dapat mengeluarkan feses
c.    Rencana Keperawatan
Pada diagnosa keperawatan konstipasi yang berhubungan dengan faktor mekanik : abses rektal, NOC (Nursing Outcome Classification) menurut Moorhead, et al., ed. (2008), yaitu :
1)   Bowel elimination
Indikator :
a)    Pola eliminasi
b)   Kontrol buang air besar
c)    Bising usus
d)   Feses lunak dan berbentuk
e)    Konstipasi
2)   Bowel continence
Indikator :
a)    Mengakui dorongan untuk defekasi
b)   BAB kurang dari 3 hari sekali
c)    Intake cairan yang adekuat
d)   Intake serat yang adekuat
e)    Monitor jumlah dan konsistensi feses
Sedangkan NIC (Nursing Intervention Classification) untuk diagnosa keperawatan konstipasi yang berhubungan dengan faktor mekanik : abses rektal, menurut Bulechek, Butcher, dan Dochterman, ed. (2008), yaitu :
1)   Bowel management
Aktivitas :
a)    Catat tanggal terakhir BAB
b)   Monitor pola BAB, termasuk frekuensi, volume, warna feses, dan bentuk
c)    Monitor bising usus
d)   Monitor tanda dan gejala adanya diare, konstipasi, dan impaksi
e)    Berikan obat supositoria jika diperlukan
f)    Anjurkan untuk mengurangi asupan makanan pembentuk gas
g)   Anjurkan pasien untuk mengkonsumsi makanan tinggi serat yang sesuai
h)   Berikan air hangat setelah makan
i)     Anjurkan pasien atau anggota keluarga untuk melaporkan warna, volume, frequensi, dan konsistensi feses
j)     Evaluasi efek samping dari pengobatan gastrointestinal
2)   Bowel training
Aktivitas :
a)    Jadwalkan atau rencanakan waktu defekasi bersama pasien
b)   Konsultasi dengan dokter tentang penggunaan obat supositoria
c)    Ajarkan pasien atau keluarga tentang prinsip latihan defekasi
d)   Instruksikan pasien untuk mengkonsumsi makanan tinggi serat
e)    Pastikan intake cairan yang adekuat
f)    Pastikan latihan defekasi yang adekuat
g)   Pastikan privasi pasien saat defekasi
h)   Kelola obat supositoria yang sesuai
i)     Modifikasi program defekasi jika diperlukan

j)     Sediakan makanan tinggi serat dalam jumlah besar atau yang telah di identifikasi sebagai makanan pembantu pasien

No comments:

Post a Comment