TUBERCULOSIS PARU (TBC)
A.
Pengertian
Menurut Prince (1997), tuberkulosis
adalah penyakit yang disebabkan Mycobacterium Tuberculosis yang hampir seluruh
organ tubuh dapat diserang olehnya, tapi yang paling banyak adalah paru-paru.
B.
Etiologi
Menurut Prince (1997), etiologi
tuberculosis paru adalah Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang dan
tahan asam panjang 1-4/Mm dengan tebal 0,3-0,5/Mm. Selain itu kuman lain
memberi infeksi yang sama yaitu M.bovis, M.kansasii, M.intracellutare.
C.
Patofisiologi
Menurut Prince (1997), patofisiologi
dari TBC adalah :
1.
Infeksi Primer
Pertama kali klien terinfeksi oleh
tuberculosis disebut sebagai infeksi primer Dan biasanya terjadi pada apeks
paru atau dekat pleura lobus bawah. Infeksi primer mungkin hanya berukuran
mikroskopis, dan karenanya tidak tampak pada foto ronsen. Tempat infeksi primer
dapat mengalami proses degenerasi nekrotik (perkrjuan) tetapi bisa saja tidak.
Yang menyebabkan pembentukan rongga terisi yaitu oleh massa basil tuberkel
seperti keju, sel-sel darah putih yang mati, dan cairan paru nekrotik. Pada
waktunya meterial ini mencair dan dapat mengalir ke dalam percabangan
trakheobronkial dan dibatukan. Rongga yang berisi udara tetap ada dan mungkin
tereteksi ketika dilakukan rogten dada.
Sebagian besar tuberkel primer menyembuh
dalam periode bulanan dengan membentuk jaringan perut dan dada akhinya terbentuk
lesi pangapuran yang juga dikenal sebagai tuberkel ghon. Lesi ini dapat
mengandung sel hidup yang aktif kembali, meski telah baetahun-tahun, dan
menyebabkan infeksi sekunder.
Infeksi TB primer menyebabkan tubuh
mengalami reaksi alergi terhadap basil tuberkel dan proteinnya. Respon imun
selerini tampak dalam bentuk sensilitasi sel-sel T yang terdeteksi dalam reaksi
positif pada tes kulit tuberkulin. Perkembangan sensivitas tuberkulin ini
terjadi pad semua sel-sel tubuh, 2-6 minggu setelah infeksi primer. Dan akan
dipertahankan selama basil hidup berada dalam tubuh. Imunitas di dapat ini
biasanya menghambat pertumbuhan basil lebih lanjut dan terjadinya infeksi
aktif.
Faktor yang tampaknya mempunyai peran
dalam perkembangan TB menjadi penyakit aktif termasuk :
a.
Usia lanjut
b.
Imunosupresi
c.
Infeksi HIV
d.
Malnutrisi,
alkoholik dan penyalahgunaan obat.
e.
Adanya keadaan
penyakit lain, misalnya DM, gagal ginjal kronik atau maligna.
f.
Predisposisi
genetik.
2.
Infeksi Sekunder
Menurut
Prince (1997), selain penyakit primer yang progesif, infeksi ulang juga
mengarah pada bentuk klinis TB aktif. Tempat terinfeksi primer yang mengandung basil-basil
TB dapat tetap laten selama bertahun-tahun dan kemudian teraktifkan kembali
jika daya tahan klien menurun. Penting artinya untuk mengkaji kembali secara
periodik klien yang telah mengalami infeksi TB untuk mengetahui adanya penyakit
aktif.
E. Klasifikasi
Klasifikasi
kesehatan masyarakat (American Thorasic Society, 1974)
1. Kategori
0:
a. Tidak pernah
terpapar/terinfeksi
b. Riwayat kontak negatif
c. Tes tuberkulin
2. Kategori
I:
a. Terpapar TB tapi tidak
terbukti ada infeksi
b. Riwayat/kontak negatif
c. Tes tuberculin negatif
3. Kategori
II:
a. Terinfeksi
TB tapi tidak sakit
b. Tes
tuberculin positif
c. Radiologis
dan sputum negatif
4. Kategori
III:
a. Terinfeksi
dari sputum sakit
Di
Indonesia klasifikasi yang dipakai berdasarkan DEPKES 2000 adalah :
1)
Kategori I : Paduan obat 2HRZE/4H3R3
atau 2HRZE/4HR atau 2HRZE/2HRZE/6HE.
Obat
tersebut diberikan pada penderita baru Y+TB paru BTA positif, penderita TB paru BTA
negative Rontgen positif yang sakit berat dan penderita TB ekstra paru berat.
2)
Kategori II : Paduan obat 2HRZES/HRZE/5H3R3E3.
Obat
ini diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure) dan
penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
3)
Kategori III : Paduan
obat 2HRZ/4H3R3
Obat
ini diberikan untuk penderita BTA negative da rontgen positif sakit ringan,
penderita ekstra paru ringan yaitu TB Kelenjar Limfe (limfadenitis), pleuritis
eksudativa uiteral, TB kulit, TB tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan
kelenjar adrenal.
Adapun
tambahan dari pengobatan pasien TB obat sisipan yaitu diberikan bila pada akhir
tahab intensif dari suatu pengobatan dengan kategori 1 atau 2, hasil
pemeriksaan dahak BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama
satu bulan.
F. Manifestasi
Klinis
Gejala
umum TB paru adalah batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa sputum,
malaise, gejala flu, demam ringan, nyeri dada, batuk darah (Mansjoer, 1999).
Gejala
lain yaitu kelelahan, anorexia, penurunan berat badan (Luckman, et al, 2009).
1. Demam:
subfebril menyerupai influenza
2. Batuk:
batuk kering (non produktif), batuk produktif (sputum)
3. Sesak
nafas: pada penyakit TB yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah ½ bagian
paru-paru.
4. Nyeri
dada: anoreksia, nafsu makan menurun, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam.
G. Pemeriksaan
Penunjang
Menurut
Mansjoer (1999), pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah:
1. Darah : leukosit sedikit meninggi
2. Sputum : BTA, pada BTA (+)
ditemukan sekurang-kurangnya 3 batang kuman pada satu sediaan dengan kata lain
5000 kuman dalam 1 ml sputum.
3. Test
tuberculin :
Mantaoux Test (PPD)
4. Rontgen : Foto PA
H. Komplikasi
(Brunner dan Suddarth, 2003) :
1. TBC
tulang
2. Potts
disease
3. Destroyed
Lung (Pulmonary distruction)
4. Efusi
pleura
5. TBC
milier
6. Meningitis
TBC
I. Penatalaksanaan
Medis (Mansjoer, 1999) :
Jenis
obat yang dipakai:
1. Obat
primer:
a. Izionazid
(H)
b. Rifampisin
(R)
c. Pirazinamid
(Z)
d. Streptomizin
e. Etambutol
(E)
2. Obat
sekunder
a. Ekonamid
b. Sikloserin
c. Protionamid
d. Kanamisin
e. PAS
(Para Amino Acid)
f. Tiasetazon
g. Viromisin
h. Kapreomisin
Pengobatan
TB ada 2 tahap menurut DEPKES 2000 yaitu:
1.
Tahap intensif
Penderita mendapat obat
setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap
Rifampizin. Bila saat tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, penderita
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagiab besar
penderita TB BTA positif menjadi negative (konversi) pada akhir pengobatan
intensif. Pengawasan ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah
terjadiny kekebalan obat.
2. Tahap
Lanjutan
Pada
tahap lanjutan penderita mendapat obat jangka waktu lebih panjang dan jenis
obat lebig sedikit untuk mencegah terjadinya kelembutan. Tahap lanjutan penting
untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadiny
kekambuhan.
J. Penatalaksanaan Keperawatan, menurut Doenges (2000)
1. Terhadap
penderita yang sudah berobat secara teratur
a.
Menilai kembali apakah paduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara
pemberian.
b.
Pemeriksaan uji kepekaan/ tes resistensi kuman terhadap obat
2.
Terhadap penderita yang riwayat penggobatan tidak teratur
a. Teruskan
pengobatan lama ± 3 bulan dengan evaluasi tiap-tiap bulan
b. Nilai
ulang test resistensi kuman terhadap obat
c. Jangka
resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang masih sensitif
3.
Pada penderita kambuh (sudah menjalani pengobatan teratur dan adekuat sesuai
rencana terapi dalam kontrol ulang BTA
(+) secara mikroskopik atau secara biakan)
a. Berikan
pengobatan yang sama dengan pengobatan pertama
b. Lakukan
pemeriksaan BTA mikroskopik 3kali, biakan dan resistensi
c. Identifikasi
adanya penyakit yang menyertai (Demam, alkoholisme, sterid jangka lama)
d. Sesuatu
obat dengan tes kepekaan atau resistensi
e. Evaluasi
ulang setiap bulannya: pengobatan, radiologis, bakteriologis.
K. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Data
yang dikaji
a. Aktifitas
atau istirahat
1)
Kelelahan
2)
Nafas pendek karena
kelelahan
3)
Kesulitan tidur pada
malam hari, mengigil atau berkeringat
4)
Mimpi buruk
5)
Takhikardi, takhipnea
atau dispnea pada kerja
6)
Kelelahan otot, nyeri,
dan sesak nafas
b. Integritas
ego
1)
Adanya faktor stress
yang lama
2)
Masalah keuangan, rumah
3)
Perasaan tidak berdaya
atau tidak ada harapan
4)
Menyangkal
5)
Ansietas, ketakutan,
mudah terangsang
c. Makanan
atau cairan
1)
Kehilananga nafsu makan
2)
Tak dapat mencerna
3)
Penurunan berat badan
4)
Turgor kulit buruk,
kering atau kulit bersisik
5)
Kehilangan otot atau
hilang lemak subkutan
d. Kenyamanan
1)
Nyeri dada
2)
Berhati-hati pada
daerah yang sakit
3)
Gelisah
e. Pernafasan
1)
Nafas pendek
2)
Batuk
3)
Peningkatan frekuensi
pernafasan
4)
Pengembangan pernafasan
tak simetris
5)
Perkusi pekak dan
penurunan fremitus
6)
Defiasi trakeal
f. Keamanan
1)
Adanya kondisi
penekanan imun.
2)
Tes HIV positif
3)
Demam atau sakit panas
akut.
g. Interaksi
Sosial
1)
Perasaan isolasi atau
penolakan.
2)
Perubahan pola biasa
dalam tanggung jawab
2.
Pemeriksaan Diagnostik.
a. Kultur
sputum
b. Zeihi
– Neelsen
c. Ter
kulit
d. Foto
Thorak
e. Histology
f. Biopsi
jarum pada jaringan paru
g. Elektrosit
h. GDA
i. Pemeriksaan
fungsi paru
3.
Diagnosa Keperawatan.
a. Resiko
tinggi infeksi (penyebaran / aktivasi ulang) ybd
1)
Pertahankan primer tak
adekuat, penurunan kerja silia.
2)
Kerusakan jaringan.
3)
Penurunan ketahanan.
4)
Malnutrisi.
5)
Terpapar lingkungan.
6)
Kurang pengetahuan
untuk menghindari pernafasan pathogen.
NOC
1 : Pengendalian Resiko
Kriteria
Hasil :
No
|
Indikator
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1.
2.
3.
4.
|
Pasien menyatakan pemahaman penyebab faktor resiko
infeksi.
Mengidentifikasi untuk mencegah.
Menurunkan resiko infeksi.
Menunjukkan
teknik, perubahan pola hidup untuk peningkatan lingkungan yang aman.
|
|
|
|
|
|
Keterangan
1.
Tidak pernah bisa
2.
Sedikit bisa
3.
Kemampuan sedang
4.
Kemampuan baik
5.
Sangat mampu
NOC
2 : Status Imun
Kriteria
Hasil :
No
|
Indikator
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1.
2.
3.
4.
5.
|
Tidak ada infeksi berat
Tidak ada pembengkakan
Suhu tubuh
Nilai sel darah putih
Berat
badan dalam batas normal
|
|
|
|
|
|
Keterangan
1.
Sangat tidak sesuai
2.
Sering tidak sesuai
3.
Kadang tidak sesuai
4.
Jarang sesuai
5.
Sering sesuai
NIC 1 : Pengendalian Infeksi
Aktivitas
:
1.
Kaji patologi penyakit
dan potensial penyebaran infeksi.
2.
Identifikasi orang lain
yang berisiko.
3.
Anjurkan pasien untuk
batuk atau bersin dan mengeluarkan pada tissue dan menghindari meludah.
4.
Kaji tindakan kontrol
infeksi sementara.
5.
Kolaborasi pemberian
antibiotik.
NIC
2
: Perlindungan terhadap infeksi
Aktivitas
:
1.
Pantau tanda atau
gejala infeksi.
2.
Pantau hasil
laboratorium.
3.
Jelaskan kepada pasien
atau keluarga mengapa sakit dan pengobatan meningkatkan resiko terhadap
infeksi.
4.
Pertahankan teknik
isolasi bila diperlukan.
5.
Berikan terapi
antibiotik, bila diperlukan.
b. Bersihan
jalan nafas tidak efektif ybd
1.
Adanya secret
2.
Kelemahan, upaya batuk
buruk
3.
Edema tracheal.
NOC
1 : Status Respiratory : Jalan Nafas
Kriteria hasil
No
|
Indikator
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
|
Tidak ada demam
Tidak ada kecemasan
Tidak tersedak
Respiratory rate dalam batas normal
Irama pernafasan normal
Sputum atau riak dapat keluar
Tidak
ada suara nafas tambahan
|
|
|
|
|
|
Keterangan
:
1.
Sangat tidak sesuai
2.
Sering tidak sesuai
3.
Kadang tidak sesuai
4.
Jarang tidak sesuai
5.
Sesuai
NOC
2 : Status Respiratory : Pertukaran Gas
Kriteria
Hasil
No
|
Indikator
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
|
Respiratory rate dalam batas normal
Irama pernafasan dalam batas normal
Kedalaman Pernafasan normal
Ekspirasi paru simetris
Mudah untuk bernafas
Mampu mengeluarkan sputum (membatuk)
Vokal
suara adekuat
|
|
|
|
|
|
Keterangan
:
1.
Sangat tidak sesuai
2.
Sering tidak sesuai
3.
Kadang tidak sesuai
4.
Jarang tidak sesuai
5.
Sesuai
NIC
1 : Pengelolaan Jalan Nafas
Aktivitas
:
1.
Kaji fungsi pernafasan,
kecepatan, irama dan kedalaman serta penggunaan otot asesoris.
2.
Catat kemampuan untuk
mengeluarkan mukosa atau batuk efektif
3.
Beri posisi semi fowler
4.
Bersihkan sekret dari
mulut dan trachea.
5.
Pertahankan masukan
cairan sedikitnya 2500 ml per hari.
6.
Kolaborasi pemberian
oksigen dan obat-obatan sesuai dengan indikasi.
7.
Bunyi nafas menurun
atau tidak ada secara bilateral atau unilateral.
8.
Karakteristik : hijau
atau parulen, kuning atau bercak darah.
NIC 2 : Pemantauan Pernafasan
Aktivitas :
1. Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan
usaha respirasi.
2. Pantau respirasi yang berbunyi seperti
mendengkur.
3. Ajarkan cara batuk efektif.
4. Ajarkan teknik relaksasi untuk meningkatkan
pola pernapasan.
5. Berikan obat nyeri untuk mengoptimalkan
pola pernapasan.
6. Posisikan pasien untuk mengoptimalkan
pernapasan.
7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
terapi.
DAFTAR
PUSTAKA
Doenger, Marylin E.
Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC, 2000
Mansjoer, et al. Kapita
Selekta Kedokteran.ed 3. Jakarta : FK UI, 1999.
Price, Sylvia Anderson.
Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa Peter
Anugrah.ed 4. Jakarta : EGC, 1999.
Lukman, et al. Standart Perawatan Pasien. Jakarta :
EGC, 2003.
No comments:
Post a Comment